Bagi masyarakat Bali yang beragama Hindu, bunga merupakan
sarana ritual yang sangat penting. Malah, dapat dikatakan, bunga merupakan
sarana persembahan pokok bagi umat Hindu selain api dan air.
Melakukan sembahyang jika tanpa
dilengkapi dengan sarana
bunga, rasanya kurang afdol. Memang pada momen tertentu sarana itu tidak
mutlak, seperti misalnya sembahyang yang dilakukan di kantor bagi pegawai
ataupun di sekolah bagi pelajar, kadang tanpa menggunakan sarana apapun, cukup
dengan menguncarkan Gayatri Mantram saja. Tentu jika mungkin untuk
mempersiapkan sarananya, jelas itu lebih baik. Tapi yang terpenting adalah
jangan sampai karena ketidak tersediaan sarana, lantas menyebabkan sembahyang
itu urung untuk dilakukan.Penggunaan sarana sembahyang itu, sebenarnya tidak lebih hanya bermakna simbolis untuk mendukung pemusatan konsentrasi kita kehadapan Sang Hyang Widhi, seperti misalnya penggunaan sarana dupa yaitu bermakna sebagai saksi dalam persembahyangan dan sebagai pelebur segala kekotoran serta sebagai pengantar doa kita kepada Sang Hyang Widhi (divisualisasikan dengan asapnya yang membumbung ke atas).
kawangen yaitu
secara umum berfungsi sebagai sarana dalam memuja Sang Hyang Widhi dalam
manifestasinya sebagai Ardhanareswari.
Dilihat dari asal-usul katanya, kawangen
berasal dari kata wangi, lalu mendapat awalan ka dan akhiran an menjadi kawangian. Setelah disandikan berubah
menjadi kawangen yang berarti keharuman ini berarti kawangen juga berfungsi
sebagai sarana mengharumkan nama (prabhawa) Hyang Widhi. Jika dilihat dari
sarana kelengkapannya, wujud kawangen secara keseluruhan melambangkan aksara
Ongkara. Bentuk kojong melambangkan angka tiga (aksara Bali), potongan bagian
atas berbentuk lonjong simbul Ardha Candra, pis bolong/uang logam dengan bentuk
bulat simbol Windhu, sedangkan cili
bunga serta dedaunan/plawa merupakan simbul nada. Karena melambangkan aksara
suci Ongkara inilah kemudian dalam
penggunaan kawangen tersebut tampak depan/muka dan kewangen itu mengarah ke
pengguna/pemujanya yang mengandung makna bahwa kita mendekatkan perwujudan Sang
Hyang Widhi itu, dan yang abstrak ke yang riil, lebih jauh lagi diharapkan
semoga Sang Hyang Widhi dapat bersemayam di hati kita masing-masing.
Begitupun halnya dengan penggunaan sarana bunga, juga bermakna simbolis yaitu sebagai lambang kesucian dan ketulusan hati kita di daiam melakukan pemujaƤn kepada Sang Hyang Widhi. Khusus penggunaan bunga, tidak hanya menjadi monopoli umat Hindu dalam persembahyangan, tetapi juga acap kali digunakan oleh masyarakat secara umum dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yaitu untuk mewakili pemyataan perasaan seseorang terhadap orang lain, misalnya perasaan bahagia/senang ataupun perasaan turut berduka/berbela sungkawa, hal ini disimbolkan dengan wujud karangan bunga.
Penggunaan bunga dalam persembahyangan agama Hindu, tentu tidak sembarang bunga dapat digunakan, lain halnya dalam penggunaan yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan untuk kegiatan-kegiatan diluar persembahyangan, tentu semua bunga dapat digunakan asalkan bunga itu menarik dan indah. Hal ini sangat berbeda jika bunga itu diperuntukan sebagai sarana sembahyang, disamping memenuhi unsur menarik dan indah juga yang terpenting adalah harus memenuhi unsur kesucian. Adapun bunga yang tidak layak dipakai dalam persembahyangan tersurat dalam kitab Agastya Parwa adalah sebagai berikut:
Begitupun halnya dengan penggunaan sarana bunga, juga bermakna simbolis yaitu sebagai lambang kesucian dan ketulusan hati kita di daiam melakukan pemujaƤn kepada Sang Hyang Widhi. Khusus penggunaan bunga, tidak hanya menjadi monopoli umat Hindu dalam persembahyangan, tetapi juga acap kali digunakan oleh masyarakat secara umum dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yaitu untuk mewakili pemyataan perasaan seseorang terhadap orang lain, misalnya perasaan bahagia/senang ataupun perasaan turut berduka/berbela sungkawa, hal ini disimbolkan dengan wujud karangan bunga.
Penggunaan bunga dalam persembahyangan agama Hindu, tentu tidak sembarang bunga dapat digunakan, lain halnya dalam penggunaan yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan untuk kegiatan-kegiatan diluar persembahyangan, tentu semua bunga dapat digunakan asalkan bunga itu menarik dan indah. Hal ini sangat berbeda jika bunga itu diperuntukan sebagai sarana sembahyang, disamping memenuhi unsur menarik dan indah juga yang terpenting adalah harus memenuhi unsur kesucian. Adapun bunga yang tidak layak dipakai dalam persembahyangan tersurat dalam kitab Agastya Parwa adalah sebagai berikut:
Nihan ikang kembang
tan yogya pujakena ring Bhattara
Kembang uleran, kembang ruru tan inuduh, kembang semutan
Kembang laywan-laywan ngarannya alewas mekar, kembang mungguh ring sema.
Nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena denika sang sattwika.
Artinya:
Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara yaitu bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncang, bunga berisi semut, bunga yang layu yaitu yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang yang baik.
Dengan suratan kitab Agastya Parwa di atas, jelaslah bahwa dalam persembahyangan, kita tidak menggunakan sembarang bunga, hal ini tentu didasari oleh suatu maksud yang paling hakiki yaitu kita ingin mempersembahkan yang terbaik kepada Sang Hyang Widhi. Semoga.
Kembang uleran, kembang ruru tan inuduh, kembang semutan
Kembang laywan-laywan ngarannya alewas mekar, kembang mungguh ring sema.
Nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena denika sang sattwika.
Artinya:
Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara yaitu bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncang, bunga berisi semut, bunga yang layu yaitu yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang yang baik.
Dengan suratan kitab Agastya Parwa di atas, jelaslah bahwa dalam persembahyangan, kita tidak menggunakan sembarang bunga, hal ini tentu didasari oleh suatu maksud yang paling hakiki yaitu kita ingin mempersembahkan yang terbaik kepada Sang Hyang Widhi. Semoga.
Secara prinsip, bunga yang tidak disarankan untuk digunakan
sebagai sarana persembahyangan yakni bunga yang pusuh (belum
kembang), bunga yang sudah layu, bunga yang jatuh dengan sendirinya atau sudah
gugur, bunga yang tumbuh di kuburan serta bunga yang dimakan semut atau ulat.
Pantangan menggunakan bunga-bunga tersebut sebetulnya lebih didasari pda konsep
bunga sebagai persembahan ke hadapan Tuhan sehingga mestilah bunga tersebut
suci, bersih, mekar dan harum.
Khusus untuk bunga yang dimakan semut atau ulat, alasannya
sebetulnya sangat logis. Bunga yang dimakan ulat dan semut tentu tidak bersih
lagi. Mungkin di bunga itu ada kotoran dari semut atau ulat yang memakannya.
Begitu pula bila bunga itu disumpangkan di sela telinga, nanti telinga bisa
kemasukan ulat atau semut.
Bunga Jempiring
Selain itu, ada juga bunga yang dipantangkan untuk dimanfaatkan sebagai sarana sesaji upacara karena bunga tersebut dimitoskan telah dikutuk oleh dewa seperti menyebut bunga tulud nyuh atau jempiring alit (Gardenia augusta Merr) serta bungasalikanta pantang digunakan untuk sembahyang. Pasalnya, bunga ini disebutkan tidak mendapatkan penglukatan atau pembersihan dari Dewa Siwa.
Mitologi ini termuat dalam lontar Aji Yanantaka.
Diceritakan dalam kerajaan Yanantaka
sedang berkecamuk penyakit lepra. Raja dan para patih juga ikut terserang
penyakit tersebut. Semua dukun sudah mencoba mengobati tetapi tak satu pun ada
yang mempan.
Sang raja kemudian
mengutus mahapatihnya untuk menghadap Dewa Siwa mohon perlindungan. Dewa Siwa
bersedia menghilangkan semua penyakit itu. Lantaran Dewa Siwa berwujud dewa,
tidak dapat langsung bertemu dengan manusia, maka kerajaan Yanantaka di-pralina
menjadi hutan belantara. Tidak tampak lagi wujud manusia.
Setelah itu, barulah
Dewa Siwa turun ke Yanantaka. Semua kayu dan pohon, termasuk tanaman bunga
datang satu per satu mohon penglukatan Dewa Siwa. Namun, hanya dua pohon bunga
yakni jempiring alit dan salikanta yang tidak mau minta penglukatanDewa
Siwa. Karena itu, Dewa Siwa mengutuk kedua bunga tersebut tidak boleh dipakai
sarana dalam pemujaan.
Pantangan yang dilatarbelakangi mitos juga berlaku untuk bunga turuk umung atau kedukduk.
Mitologi tentang bunga ini termuat dalam lontar Siwagama. Diceritakan Dewi Uma melahirkan dua orang putra, seorang
berupa raksasa dan seorang sangat tampan diberi nama Sang Kumara. Selesai
melahirkan, kain dalam (tapih) yang penuh darah itu dicuci dalam telaga Rambawa
dan dijemur di sebelahnya. Kain dalam itu direbut lalat dan tumbuh pohon bunga turuk
umung atau kedukduk. Dewi Uma kemudian memastu bunga turuk umung atau kedukduk tidak
boleh digunakan persembahan
Secara logika kita bisa memahami bahwa,bunga yang direbut
lalat tentu tidak harum baunya, karena kotor/tidak suci.
Bunga lainnya yang dikenal tidak patut digunakan untuk
sarana banten yakni bunga gemitir. Dalam lontar Kunti
Yadnya disebutkan bahwa:,bunga
gemitir disebut-sebut berasal dari darah Dewi Durga (sakti Dewa Siwa). Namun,
setelah mendapat penglukatan dari Dewa Siwa seperti dinyatakan dalam
lontar Aji Yanantaka, bunga gemitir boleh digunakan untuk
persembahan. Akan tetapi, hanya yang kembangnya bagus dan berwarna
kekuning-kuningan. Bunga gemitir yang warnanya merah tidak
diperkenankan untuk digunakan sebagai sarana upakara.
Selain itu, bunga gemitir juga tidak baik dipakai sarana
memercikkan tirtha, karena cepat busuk dan mengundang bibit penyakit,”
suksme pencerahannya. mohon tanggapannya seorang nara sumber mengatakan bahwa bunga kembang kertas juga tidak bagus dipakai untuk sembahyang karena dikatakan mengandung amoniak. darimanakah sumbernya. apakah secara ilmu tumbuh tumbuhan memang benar demikian?
ReplyDelete