Di ceritakan Pada suatu musyawarah para Dewa diketahui, bahwa Suralaya (Kahyangan) akan diserbu oleh bala tentara raksasa. Serangan itu akan dipimpin oleh Raja Nilarudraka. Semua dewa merasa tidak mampu menghadapi kesaktian Raja Nilarudraka. Seluruh dewa merasa panik bagaimana cara mengatasi bahaya itu. Kebetulan pada waktu itu Dewa Siwa atau Batara Guru (Raja pra Dewa) baru bertapa. Kemudian para dewa mengadakan musyawarah. Keputusan musyawarah menunjuk Batara Kamajaya untuk membangunkan Batara Guru dari tapanya.
Sesampai di pertapaan, Batara Kamajaya tidak
berani mendekat. Batara Guru yang sedang bersamadi. Dicarilah akal untuk
membangungkan Batara Guru dari tapa. Kemudian Batara Kamajaya melepaskan panah
bunga berkali-kali tetapi tidak membawa hasil. Panah bunga yaitu kekuatan
tenaga dalam (batin) dari seseorang ditujukan kepada orang lain agar tercium
harumnya suatu bunga. Batara Kamajaya tidak putus asa. Kemudian dilepaskan
panah “panca wisaya” ditujukan kepada Batara Guru (panca = lima; wisaya =
rindu). “Panca Wisaya” itu berupa rindu pada suara merdu, rindu pada rasa enak,
rindu pada belaian kasih sayang dan rindu pada bau yang harum. Seketika itu
Batara Guru timbul rasa rindu kepada dewi uma permaisurinya. Setelah bangun
dari tapanya, ternyata yang ditatap didepannya adalah Batara Kamajaya. Timbul
marahnya yang tak terhingga. Batara Kamajaya dipandang memakai mata ketiga yang
berada di dahinya. Pandangan itu memancarkan api yang menyala-nyala. Maka
terbakarlah Batara Kamajaya dan mati seketika itu. Kemudian Batara Guru kembali
ke Kahyangan.
Dewi Ratih sangat berduka cita mendengar
berita suaminya mati terbakar. Ia bermaksud “mati obong” (membakar diri) bersama
suaminya sebagai rasa cinta kasih. Kemudian Dewi Ratih menyusul ke tempat
suaminya mati terbakar. Sesampainya Dewi Ratih di tempat suaminya terbakar,
maka atas kehendak Batara Guru api menyala kembali lebih besar. Lambaian nyapa
api itu tampak bagaikan lambaian tangan Batara Kamajaya memanggil Dewi Ratih
agar mendekatnya. Maka Dewi Ratih tanpa ragu sedikitpun lalu terjun ke dalam
nyala api. Demikianlah Dewi Ratih telah menyatu dengan suaminya.
Mengetahui kejadian itu seluruh dewa berduka
cita. Mereka sadar bahwa kematian Batara Kamajaya karena keputusan sidang para
dewa untuk mengatasi bahaya yang mengancam Kahyangan. Oleh karena itu para Dewa
berusaha memohonkan ampun atas kesalahan yang diperbuat oleh Batara Kamajaya.
Selain itu para dewa memohon agar Batara Guru berkenan menghidupkan lagi Batara
Kamajaya dan Dewi Ratih. Akan tetapi Batara Guru tidak dapat mengabulkan
permohonan itu, karena mempunyai pandangan yang lebih jauh. Batara Guru
menghendaki keturuanan atau kelestarian kehidupan manusia di arcapada (dunia).
Maka Batara Kamajaya diperintahkan agar tinggal pada setiap hati atau rasa
orang laki-laki dan Dewi Ratih tinggal pada setiap hati atau rasa orang
perempuan. Dengan demikian antara orang laki-laki dan perempuan selalu timbul
rasa cinta kasih, sehingga kelangsungan hidup di dunia dapat dipertahankan.
Sekembalinya Batara Guru di Kahyangan di
jemput oleh Dewi uma permaisurinya. Pasangan Dewa itu saling melepaskan rindu
karena cukup lama tak jumpa. Tak berapa lama berselang dengan kembalinya Batara
Guru ke Kahyangan, lalu Dewi Uma hamil.
Pada saat Dewi Uma hamil muda, para Dewa
datang menghadap untuk menghormati kembalinya Batara Guru dari bertapa.
Kedatangan para dewa membawa hewan tungganggan masing-masing. Saah satu dewa
itu adalah Batara Indra menunggang gajah yang terkenal besarnya. Pada waktu itu
Batara Guru baru duduk di dampingi Dewi Uma, permaisurinya. Melihat kedatangan
Batara Indra menunggang gajah yang besar itu, Dewi Uma sangat terkejut, takut
dan menjerit-jerit. Batara Guru menghibur dan meredakan rasa takutnya
permaisuri.
Dalam hati Batara Guru telah mengetahui apa
yang akan terjadi akibat dari perasaan takut permaisuri yang sedang hamil muda
itu. Maka ia berkata sudah menjadi kehendak Sang Hyang Tunggal, bahwa Dewi Uma
akan melahirkan jabang bayi laki-laki berkepala gajah. Setelah sampai waktunya,
benarlah Dewi Uma melahirkan bayi laki-laki berkepala gajah. Putera Dewi Uma
itu diberi nama Batara Ganesa.
Tidak lama kemudian Kahyangan kedatangan bala
tentara Raja Nilarudraka. Maksud kedatangan Raja Nilarudraka adalah ingin
melamar bidadari Kahyangan untuk dijadikan permaisuri. Para dewa tidak dapat
meluluskan lamaran itu. Sebab semua makhluk di arcapada telah diatur oleh
Dewata untuk jodohnya masing-masing yaitu dewa dengan dewi (bidadari). Satria
dengan puteri, pandita dengan endang, raksasa dengan raksasi dan seterusnya.
Karena permintaan Raja Nilarudraka ditolak, maka terjadilah perang antara bala
tentara dewa menghadapi bala tentara raksasa. Para dewa tidak mampu menghadapi
serangan itu.
Batara Guru memutuskan agar Batara Ganesa yang
masih kecil itu maju ke medan perang. Terjadilah perang yang semakin seru.
Semua bala tentara raksasa dihadapinya dengan gigih. Anehnya setiap bala
tentara raksasa dapat dibunuhnya, Batara Ganesa bertambah besar. Seluruh bala
tentara raksasa dapat dibinasakan. Akhirnya Batara Ganesa perang tanding (satu
lawan satu) dengan Raja Nilarudraka. Perang dahsyat adu kesaktian dan kekuatan
itu sangat ramai. Dalam perang itu salah satu taring (gading) Batara Ganesa patah.
Dalam perang tanding ini Raja Nilarudraka dapat dibinasakan dan dibunuh.
Karena Batara Ganesa hanya mempunyai satu
taring (gading) maka diberi nama Eka Denta (eka = satu; denta = gading atau
taring). Dalam agama Hindu, Ganesa mahsyur sebagai "Pengusir segala
rintangan" dan lebih umum dikenal sebagai "Dewa saat memulai
pekerjaan" dan "Dewa segala rintangan" (Wignesa, Wigneswara),
"Pelindung seni dan ilmu pengetahuan", dan "Dewa kecerdasan dan
kebijaksanaan". Ia dihormati saat memulai suatu upacara dan dipanggil
sebagai pelindung/pemantau tulisan saat keperluan menulis dalam upacara.
tdk lengkap..!
ReplyDeleteSangat bagus untuk pedoman hidup
ReplyDeletethankz infonya
ReplyDeletevisit jg ya >> dewa Pandai Besi
sampai jumpa :)