Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang.
Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit
untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya
Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di
daerah lain
khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan
Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat
Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali.
Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji
Amalat
Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah
namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
Namun di
Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali
Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon
Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci
Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804.
Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya:
Perayaan
(upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon,
(Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali
bagaikan Indra Loka.
Sejak itu
Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah
Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa
dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan.
Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan
juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi.
Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur
para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri
Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka,
barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih
selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam
lontar tersebut
diceritakan
bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja
sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri
Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan
istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu
dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura
Besakih.
Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu endapatkan
pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa
Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya
selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi
Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan
setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di
samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari
Penampahan Galungan (sehari sebelum
Galungan).
Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah
melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan
negatif
(Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu
mendapatkan
bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh
umat Hindu di Bali.
Makna
Filosofis Galungan
Galungan
adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu
membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi
atma yaitu
berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu juga memberi
kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan
kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia
atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan
keraksasaan.
Galungan
adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara
ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan
dharma
melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya
dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama
dijelaskan sebagai berikut: Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang
janyana
samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
Artinya:
Rabu Kliwon
Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan
pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti
Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian
yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud
dharma dalam
diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud
adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa
hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan adharma.
Untuk
memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan
setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.
Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna
menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan
pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam
lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan
Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu
hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan
upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di
masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku
Sungsang
disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan
jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri
sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam
diri.
Dan itulah
yang disucikan. Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala
Tiga Wisesa
turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung
jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha
Galungan.
Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci)
tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari
Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham
tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan,
"Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi." Pada hari Anggara Wage
wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai
hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten
byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada
hari ini menyembelih
babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini
hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri. Demikian urutan
upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis
Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang
betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan
dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga
mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.
Hari
berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru.
Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah
berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat
dianjurkan
menghaturkan
canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati
waranugraha Dewata.
Pada hari
Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama
tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan
melakukan
kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana
(lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut
Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada
hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan
upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan
Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring
Swarga).
Demikianlah
makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.
Macam-macam
Galungan
Meskipun
Galungan itu disebut "Rerahinan Gumi" artinya semua umat wajib
melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan
sumber-sumber
kepustakaan
lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya
tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan
Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Galungan ,
Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan
kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama
disebutkan "Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan." Artinya, Galungan
itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap
210 hari
karena yang
dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau
Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya
ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
Galungan
Nadi
Galungan
yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali
Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika)
tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan
dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan
Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada
waktu itu.
Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan
kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa
kalau
upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan
melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari
kelahiran
berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan
upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena ada keyakinan
bahwa hari
Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa
kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya
gelap).
Karena itu
Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan
Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.
Galungan
Nara Mangsa
Galungan
Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:
"Yan
Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek
9, Galungan Nara Mangsa ngaran."
Artinya:
Bila Wuku
Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan
dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa
namanya.
Dalam lontar
Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:
Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali
elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring
Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana.
Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9,
tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru
wong Baline
pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring
Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah.
Artinya:
Inilah
petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi
manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan
wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan
Galungan, Kala Rau namanya,
bila
demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila
bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih
kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan
upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila
tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar)
kalian akan diserbu oleh alagadabah.
Demikianlah
dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan
Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari
Galungan
Nara Mangsa disebutkan "Dewa Mauneb bhuta turun" yang artinya, Dewa
tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu
adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari
Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya
terutama tidak menghaturkan sesajen "tumpeng Galungan". Pada Galungan
Nara Mangsa justru umat
dianjurkan
menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
Demikian
pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya
diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar
dalam lontar
Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma
dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh
Mayadanawa.
Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan
tidak percaya pada keutamaan upacara agama.
Galungan di
India
Hari raya
Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma
dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan
hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari
perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata
"Wijaya" (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata
"Galungan" dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua
kata itu
artinya "menang".
Hari Raya
Wijaya Dasami di India disebut pula "Hari Raya Dasara". Inti perayaan
Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan.
Sebelum
puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara
yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu
dilakukan
dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di
rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual
sebagai
dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya
Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan,
kemeriahan
dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan
Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya.
Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April).
Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri.
Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan
adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha)
mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu
raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi
Durgha. Dewi Durgha di India
dilukiskan
seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai
dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat,
memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling
tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai
kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Parayaan
Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan.
Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya.
Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang
Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan
adharma.
Sedangkan
upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri.
Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara
Wisnu.
Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan
pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai,
keganasan
hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami
atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di
mana-mana,
orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh
berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu
diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di
mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama,
Sita,
Laksmana dan Anoman.
Puncak dari
atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas
panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa
sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung
terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang
memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat
penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan
itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka
mengalahkan adharma.
Kalau kita
simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada
bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang
bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu
"sakti" atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan
adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan
pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau
pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya
Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih
sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh
menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya
kehidupan yang bahagia lahir batin.
Kemenangan
lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari.
Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup
yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak
sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari
raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.
No comments:
Post a Comment